AGENDA

-

Minggu, 18 Maret 2012


 KERESAHAN
PILAR PILAR  AR-ROHMAH JILID DUA

            Oleh : Muchsin Bahanan, S.Sos*

Beberapa waktu lalu saya mendapatkan sms, telepon, dan email dari beberapa kader Muhammadiyah di seluruh pelosok Nusantara, banyak pesan yang disampaikan seperti kemandirian intelektual, kefakuman sampai pada kegamangan dalam mengentaskan masalah ”Penutupan akses jalan menuju masjid Ar-Rohmah Kaliombo Kota Kediri”. Saya terkejut karena semakin saya diam, semakin banyak pernyataan bermunculan, entah mengapa, yang jelas itu yang saya dapatkan. Ada yang menggunakan bahasa yang ”Kasar” dengan nada yang cukup keras, ada juga yang lembut santai dan akur walaupun hanya dari beberapa orang. Bagi saya itu cukup menjadikan renungan bagi siapapun yang mencintai ”masjid”. Walaupun kejadian itu baru genap berusia satu semester

Menjawab Keresahan:
Bagi saya terutama sebagai bagian dari turbinnya Masjid periode 2010-2012, ini semua sebagai wujud kecintaan dan kepedulian aktivis Muhammadiyah, sebuah rumah ”indah” dimana mereka tinggal. Karena itu cara terbaik yang harus saya hadirkan adalah sebuah ”Lidah” terbaik walaupun saya hanya sebagai manusia biasa di internal Masjid yang merasa tertampar baik sebagai Sekretaris Masjid maupun sebagai aktivis Muhammadiyah, saya punya hak untuk berbicara dan membela, tentu saja sesuai kemampuan dan porsi saya. Banyak pertanyaan yang terlintas dalam benak saya begitu santai, gamang pragmatiskah saya memperjuangkan jihad ibadah.
Apakah saya sudah beku dan lari dari tanggung jawab ; apakah saya sudah tidak berfikir jernih atau gagal, kaku, lesu atau bahkan ”mati”; walaupun sering saya dikatakan ”picik”, arogan, ataupun ”dangkal”; tetapi saya tidak tahu pasti dengan tetek bengek masa lalu; malas berbicara ”Pemblokiran jalan menuju Masjid”. Bukan...bukan patah arang, tetapi saya hanya ingin belajar mengatakan sesuatu semampunya. Agar lidah saya kelak tidak pedal menjawab pertanyaaan Malaikat ketika ditanya tentang waktu, umur, ilmu dan amal, agar esuk jika tidak jadi pengurus masjid, saya bisa bercerita banyak, terutama betapa indah dan nikmat hidup dan berjuang di Masjid, betapa mulia visi dan orientasi pergerakan Muhammadiyah.
Untuk itu saya masih terlalu bodoh untuk menjawab ”Keresahan” yang terjadi secara prematur jilid dua” ini dan yang lebih tepat diposisikan sebagai ”Serpihan Suara Hati” seorang sekretaris Masjid yang bernama Muchsin. Saya lebih suka mengkampanyekan ”gerakan Tutup Aurat” bersama teman pengurus masjid yang lainnya dengan sabar jika dighibahin dan difitnah. Saya lebih senang memaafkan teman dikala salah dan khilaf, yang tidak ridho jika sesama pengurus dijelekin, ukhuwahnya selalu diikat, imannya terus dipelihara, yang selalu senyum jika bersua, yang selalu memberikan salam kepada saudaranya, yang selalu mendo’akan kebaikan dan ampunan kepada saudaranya, yang santun kala bersikap, yang sopan kala bertutur, yang respon terhadap berbagai issu keumatan dan kebangsaan.    

Keresaahan Jilid Satu :

Walaupun pada akhirnya saya tersimpuh air mata saya deras mengalir menangis, membentangkan kedua tangan dan kaki, menghadang pengrusakan titihan jembatan kecil dari bambu yang dilakukan orang-orang yang sudah buta mata dan hatinya, tetapi pembongkaran itu dilanjutkan, komitmen yang hanya tinggal puing-puing deklarasi, hanyalah sebagai tumbal arogansi menyayat demokrasi kepentingan sepihak. Saya hanya duduk berharap, mudah-mudahan tidak akan terjadi genangan darah setinggi mata kaki, seperti pembantaian di Masjid Al-Aqsa Palestina, mudah-mudahan teman-teman aktifis masjid tidak sampai mengungsi di atap tiang masjid, walaupun sejujurnya intervensi dan penghadangan itu terjadi pada teman-teman aktifis yang akan melintasi jalan ke Masjid.

Saya melihat usaha teman-teman untuk menempuh jalur persuasif dan ukhuwah begitu luar biasa, mengorbankan waktu, materi dan tenaga, dalam mengupayakan agar jalan akses menuju masjid bisa dipertahankan. Ternyata Allah swt masih menghendaki lain, masih menguji pertahanan kesabaran dan keridhohan kita.     

Sebenarnya sampai saat ini mediasi yang sudah dilaksanakan Aparat kelurahan kepada kedua belah pihak, belum menghasilkan ”Hitam diatas Putih” walaupun tindakan anarkhi, presuure dan destruktif dilakukan dari pihak yang mengklaim ”Membuat Resah” tetap menutup dengan jalan membuat tembok raksasa. Nah sulap menyulap, bim salabim membuat aparat Kelurahan menutup mata, memberi lampu hijau dalam penutupan  akses jalan menuju masjid. Sengaja kami teman-teman Masjid dan Pergerakan Muhamadiyah tidak melawan, bersabar dalam ketabahan, walaupun sempat pontang-panting ketika melihat anak-anak TPQ enggan untuk ke Masjid.
Disisi lain hati saya terus istighfar, teman-teman melantunkan do’a , mohon kepada Allah swt untuk diberi petunjuk yang istqomah. Subaqanallah.... jamaah tidak makin berkurang justru makin bertambah banyak. Kegiatan makin padat kajian Islam terinfus, menggugah semangat untuk makin merapatkan beribadah dalam keheningan dan kedamaian. 

Keresahan Jilid Dua

Enam bulan saya dan teman-teman masjid berpacu merajut lecutan fata morgana, tidak pesimis ketika jiwa bersandar pada kebenaran. Terjawablah semua apa yang selama ini menjadikan saya gamang bahwa pada 18 januari 2012, seorang aktifis Muhamadiyah yang juga pengurus masjid rela menghibahkan rumahnya untuk sarana akses jalan menuju Masjid. Namun karakter fisabililahnya nyaris diszolimi oleh beberapa tokoh yang memproklamirkan arogansinya ”Tidak ada kata Kalah” dalam upaya menutup jalan akses menuju Masjid.  
Berbagai issue yang bernafaskan ”Keresahan” dipropagandakan kepada warga yang tidak tahu hulu-hilirnya. Apapun bentuk kebaikan dari saya dan teman-teman pengurus Masjid kepada mereka selalu dibalas dengan rasa permusuhan. Mudah-mudahan keresahan kedua ini tidak akan terjadi seperti di Sampang Madura, tidak akan terjadi seperti di Bandung, tidak akan terjadi seperti di Ambon, karena akar permasalahan yang sebenarnya dikemas instan tidak ada setitikpun kesalahan dari teman yang memang secara tulus menghibahkan rumah yang dicintai selama 14 tahun.
Saya hanya berharap pada teman-teman seperjuangan janganlah saya dibilasi lagi dengan anti kekerasan, radikalisme dan takut mati. Demi Allah andaikan saya dibantai, diburai usus saya, dipenggal leher saya atau dimultilasi, tidak ada kalimat takut mati karena ”Jihad Fisabilillah”.   Akankah kita berjalan digenangan darah seperti di Siria, di Afganistan dan di Libya ? Jawabnya adalah : Ketika mereka menggunakan cara-cara yang biadab, kenapa kita tidak hadapi dengan pekikan ”Allah Akbar” walaupun itu upaya yang paling akhir yang harus kita lakukan, untuk menjaga dan mempertahankan rumah Allah swt.  Dan Siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam Masjid-Masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk  kedalamnya(Masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah) Mereka didunia mendapat kehinaan dan diakhirat mendapat siksa yang berat" (QS Al-Baqarah:114)

* Penulis aktif menulis pada buletin Komunitas Ngaji Bengi At-Taubat
Perumahan Bumi Asri Gang Sawo