KERESAHAN
PILAR PILAR AR-ROHMAH JILID DUA
Oleh : Muchsin Bahanan, S.Sos*
Beberapa waktu lalu saya
mendapatkan sms, telepon, dan email dari beberapa kader Muhammadiyah
di seluruh pelosok Nusantara, banyak pesan yang disampaikan seperti kemandirian
intelektual, kefakuman sampai pada kegamangan dalam mengentaskan masalah ”Penutupan
akses jalan menuju masjid Ar-Rohmah Kaliombo Kota Kediri”. Saya terkejut karena
semakin saya diam, semakin banyak pernyataan bermunculan, entah mengapa, yang jelas
itu yang saya dapatkan. Ada yang menggunakan bahasa yang ”Kasar” dengan nada
yang cukup keras, ada juga yang lembut santai dan akur walaupun hanya dari
beberapa orang. Bagi saya itu cukup menjadikan renungan bagi siapapun yang
mencintai ”masjid”. Walaupun kejadian itu baru genap berusia satu semester
Menjawab
Keresahan:
Bagi saya terutama sebagai bagian
dari turbinnya Masjid periode 2010-2012, ini semua sebagai wujud kecintaan dan
kepedulian aktivis Muhammadiyah, sebuah rumah ”indah” dimana mereka tinggal. Karena
itu cara terbaik yang harus saya hadirkan adalah sebuah ”Lidah” terbaik walaupun
saya hanya sebagai manusia biasa di internal Masjid yang merasa tertampar baik
sebagai Sekretaris Masjid maupun sebagai aktivis Muhammadiyah, saya
punya hak untuk berbicara dan membela, tentu saja sesuai kemampuan dan porsi
saya. Banyak pertanyaan yang terlintas dalam benak saya begitu santai, gamang
pragmatiskah saya memperjuangkan jihad ibadah.
Apakah saya sudah beku dan lari dari
tanggung jawab ; apakah saya sudah tidak berfikir jernih atau gagal, kaku, lesu atau bahkan
”mati”; walaupun sering saya dikatakan ”picik”, arogan, ataupun
”dangkal”; tetapi saya tidak tahu pasti dengan tetek bengek masa lalu; malas
berbicara ”Pemblokiran jalan menuju Masjid”. Bukan...bukan patah arang,
tetapi saya hanya ingin belajar mengatakan sesuatu semampunya. Agar lidah saya
kelak tidak pedal menjawab
pertanyaaan Malaikat ketika ditanya tentang waktu, umur, ilmu dan amal, agar esuk
jika tidak jadi pengurus masjid, saya bisa bercerita banyak, terutama betapa
indah dan nikmat hidup dan berjuang di Masjid, betapa mulia visi dan
orientasi pergerakan Muhammadiyah.
Untuk itu saya masih terlalu bodoh
untuk menjawab ”Keresahan” yang terjadi secara prematur jilid dua”
ini dan yang lebih tepat diposisikan sebagai ”Serpihan Suara Hati”
seorang sekretaris Masjid yang bernama Muchsin. Saya lebih suka
mengkampanyekan ”gerakan Tutup Aurat” bersama teman pengurus masjid yang
lainnya dengan sabar jika dighibahin dan difitnah. Saya lebih senang
memaafkan teman dikala salah dan khilaf, yang tidak ridho jika sesama pengurus
dijelekin, ukhuwahnya selalu diikat, imannya terus dipelihara, yang selalu
senyum jika bersua, yang selalu memberikan salam kepada saudaranya, yang selalu
mendo’akan kebaikan dan ampunan kepada saudaranya, yang santun kala bersikap,
yang sopan kala bertutur, yang respon terhadap berbagai issu keumatan dan
kebangsaan.
Keresaahan Jilid
Satu :
Walaupun pada akhirnya saya
tersimpuh air mata saya deras mengalir menangis, membentangkan kedua tangan dan
kaki, menghadang pengrusakan titihan jembatan kecil dari bambu yang dilakukan
orang-orang yang sudah buta mata dan hatinya, tetapi pembongkaran itu
dilanjutkan, komitmen yang hanya tinggal puing-puing deklarasi, hanyalah
sebagai tumbal arogansi menyayat demokrasi kepentingan sepihak. Saya hanya
duduk berharap, mudah-mudahan tidak akan terjadi genangan darah setinggi mata
kaki, seperti pembantaian di Masjid Al-Aqsa Palestina, mudah-mudahan
teman-teman aktifis masjid tidak sampai mengungsi di atap tiang masjid,
walaupun sejujurnya intervensi dan penghadangan itu terjadi pada teman-teman
aktifis yang akan melintasi jalan ke Masjid.
Saya melihat usaha teman-teman
untuk menempuh jalur persuasif dan ukhuwah begitu luar biasa, mengorbankan
waktu, materi dan tenaga, dalam mengupayakan agar jalan akses menuju masjid
bisa dipertahankan. Ternyata Allah swt masih menghendaki lain,
masih menguji pertahanan kesabaran dan keridhohan kita.
Sebenarnya sampai saat ini mediasi
yang sudah dilaksanakan Aparat kelurahan kepada kedua belah pihak, belum
menghasilkan ”Hitam diatas Putih” walaupun tindakan anarkhi, presuure dan
destruktif dilakukan dari pihak yang mengklaim ”Membuat Resah”
tetap menutup dengan jalan membuat tembok raksasa. Nah sulap menyulap, bim
salabim membuat aparat Kelurahan menutup mata, memberi lampu hijau dalam
penutupan akses jalan menuju masjid.
Sengaja kami teman-teman Masjid dan Pergerakan Muhamadiyah tidak melawan,
bersabar dalam ketabahan, walaupun sempat pontang-panting ketika melihat
anak-anak TPQ enggan untuk ke Masjid.
Disisi lain hati saya terus istighfar,
teman-teman melantunkan do’a , mohon kepada Allah swt untuk diberi petunjuk
yang istqomah. Subaqanallah.... jamaah tidak makin berkurang justru makin
bertambah banyak. Kegiatan makin padat kajian Islam terinfus, menggugah
semangat untuk makin merapatkan beribadah dalam keheningan dan kedamaian.
Keresahan Jilid Dua
Enam bulan saya dan teman-teman
masjid berpacu merajut lecutan fata morgana, tidak
pesimis ketika jiwa bersandar pada kebenaran. Terjawablah semua apa yang selama
ini menjadikan saya gamang bahwa pada 18 januari 2012, seorang aktifis Muhamadiyah yang juga pengurus masjid rela
menghibahkan rumahnya untuk sarana akses jalan menuju Masjid. Namun karakter
fisabililahnya nyaris diszolimi oleh beberapa tokoh yang memproklamirkan
arogansinya ”Tidak ada kata Kalah” dalam upaya menutup jalan akses menuju
Masjid.
Berbagai issue yang bernafaskan
”Keresahan” dipropagandakan kepada warga yang tidak tahu hulu-hilirnya. Apapun
bentuk kebaikan dari saya dan teman-teman pengurus Masjid kepada mereka selalu
dibalas dengan rasa permusuhan. Mudah-mudahan keresahan kedua ini tidak akan
terjadi seperti di Sampang Madura, tidak akan terjadi seperti di Bandung, tidak
akan terjadi seperti di Ambon, karena akar permasalahan yang sebenarnya dikemas
instan tidak ada setitikpun kesalahan dari teman yang memang secara tulus
menghibahkan rumah yang dicintai selama 14 tahun.
Saya hanya berharap pada
teman-teman seperjuangan janganlah saya dibilasi lagi dengan anti kekerasan,
radikalisme dan takut mati. Demi Allah andaikan saya dibantai, diburai usus
saya, dipenggal leher saya atau dimultilasi, tidak ada kalimat takut mati
karena ”Jihad Fisabilillah”. Akankah
kita berjalan digenangan darah seperti di Siria, di Afganistan dan di Libya ? Jawabnya
adalah : Ketika mereka menggunakan cara-cara yang biadab, kenapa kita tidak
hadapi dengan pekikan ”Allah Akbar” walaupun itu upaya yang paling akhir yang
harus kita lakukan, untuk menjaga dan mempertahankan rumah Allah swt. ”Dan Siapakah yang lebih aniaya daripada
orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam Masjid-Masjid-Nya, dan
berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk kedalamnya(Masjid Allah), kecuali dengan rasa
takut (kepada Allah) Mereka didunia mendapat kehinaan dan diakhirat mendapat
siksa yang berat" (QS
Al-Baqarah:114)
* Penulis aktif menulis pada
buletin Komunitas Ngaji Bengi At-Taubat
Perumahan Bumi Asri Gang Sawo
Salut kepada perjuangan pengurus dan jamaah masjid Ar Rahmah. Allah SWT senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar
BalasHapus